Oleh : Danang Adi K*
Tulisan ini bukan untuk kemudian membahas Isu Nasional dalam ruang lingkup Agama Islam (Ponpes Al-Zaytun) yang per hari ini masih ramai untuk diperbincangkan, juga tidak mengajak untuk membentuk aliansi yang kemudian berencana melakukan konsolidasi yang berujung untuk boikot. Juga, bukan membahas Kontestasi Politik 2024. Bukan juga membahas elektebilitas Pak Prabowo, Pak Ganjar maupun Pak Anies Baswedan.
Negara dengan Pendidikan terbaik hingga hari ini masih dipegang oleh Finlandia, Negara yang berada di Eropa Utara berbatasan dengan Swedia, Norwegia dan Rusia. PISA (progamme for Internasional Assessment) mengatakan generasi muda di Finlandia memiliki kemampuan membaca yang tinggi dan generasi yang literat.
Lalu Bagaimana dengan Negara dipimpin oleh Presiden Jokowi yang mempunyai Mentri Kemendikbud Ristek Milenial itu ?
Apakah masyarakatnya masih beragumen bahwa Bumi itu bulat atau datar ?, Apakah Mahasiswa akhir masih suka berdiskusi paham kiri hingga lupa akan skripsi?, lalu apakah kemudian Masyarakat masih memperdebatkan identitas kehidupan beragama ?
Fakta yang menyakitkan bahwa Masyarakat belum tuntas dihadapkan dengan realitas ketertindasan atau marginalisasi akibat dalang Oligarki yang haus keserakahan akan politik identitas maupun lapar akan harta dan tahta. Misal alih fungsi lahan IKN di Kalimantan atau Wadas di Jateng, sahnya UUCiptaker, kasus tragedi Kanjuruhan yang hingga hari ini korban 135+ belum mendapatkan keadilan, Al-Fatihah untuk para korban. Baiknya adalah fenomena ini menjadikan ruang-ruang kritis diskursus atau dijadikan forum-forum kajian oleh kelompok Intlektual (katanya).
Sayangnya Penulis amat terlalu cinta tanah air, penulis juga mempunyai Paradigma bahwa Negara Indonesia tidak perlu dibandingkan dengan Negara yang sudah maju. Penulis berprinsip bahwa Negara Indonesia tidak bisa ditandingi oleh Negara apapun. Oleh karenanya, esensi dari apa penulis sampaikan Juga tidak mengajak pembaca untuk antipati terhadap Pemerintah dengan kondisi yang fana ini. (anggap saja bukan sarkasme)
Kita sepakat bahwa pondasi suatu Negara adalah Pendidikan, bahwa Pendidikan mempunyai peran penting dalam menciptakan SDM yang unggul sehingga bisa mengantarkan untuk menjadikan Negara yang maju. Namun ketika dianalogikan dengan sebuah bangunan, pondasi yang kokoh dan kuat harus dibuat dengan tangan yang ahli “dibidangnya”.
Sekali lagi penulis tidak mengajak untuk kita menjadi antipati terhadap pemerintah dalam konteks ini Pak Nadiem Makarim seorang pebisnis milenial yang malang melintang dimandatkan menjadi seorang Kemendikbud Ristek. Penulis juga bukan mengajak untuk menampakkan dialektika berpikir bahwa tidak relevansinya seorang Nadiem Makarim menjadi Seorang Menteri Pendidikan atau meragukan kapasitas ataupun kapabilitasnya. Serta juga tidak mengajak pembaca untuk kemudian berfikir bahwa Pendidikan dibuat menjadi alat kapitalisme.
Belakangan ini beliau (baca : Nadiem Makarim) meluncurkan konsep atau inovatif baru di dunia Pendidikan, sebuah platform digital yang mempertemukan Guru dengan instasi Sekolah yang sedang membutuhkan tenaga pengajar yaitu “MARKETPLACE GURU”. Apakah hal ini akan menjadi ruang isu komersialisasi Pendidikan? Atau Komersialisasi Guru ?
Dikatakan bahwa adanya Marketplace Guru untuk mempermudah Sekolah dalam perekrutan Calon Guru yang memiliki kualitas yang memadai (Guru honorer yang lulus seleksi dan lulusan PPG pra jabatan)
Bukankah hal ini menciderai martabat Guru yang dinilai sebagai barang dagang?, tapi adanya platform marketplace ini dikatakan agar kemudian system Perekrutan Guru lebih terstruktur ataupun teroganisir.
Namun apakah tidak memperkuat adanya indikasi perekrutan jalur relasi (orang dal*m)?, Namun juga Marketplace adalah solutif dari masalah honorer yang hingga sampai hari ini menjadi mimpi buruk bagi tenaga pendidikan.
Apakah tidak dikhawatirkan bagi Guru yang sulit mengakses Platform digital ?, apakah tidak menimbulkan ketidaksimbangan populasi Guru disejumlah daerah?, Apakah Platform ini bisa memberikan “cindra mata” berupa garansi kesejahteraan Guru ?
Lagi-lagi penulis tidak kemudian Mengajak untuk menjadi Pro atau Kontra dalam menyikapi rancangan platform digital ini. Juga tidak mengajak berfikir bahwa langkah ini justru bisa “memarjinalkan Guru’”, semoga tidak.
Lalu ?
SEBUAH ANCAMAN ATAU PELUANG BAIK UNTUK GURU ATAUPUN CALON GURU DI MASA DEPAN ?
Pada akhirnya, penulis berada di lingkaran “Kecemasan di antara Keberadaan Yang Kebingungan”
*penulis : Danang Adi Kumara, Ketua Rayon PMII Ki Hajar Dewantara Komisariat Ibnu Rusyd “UNIKAMA” dan anggota BEM Kabinet “Konkrit” sebagai Menteri Advokasi dan Gerakan. (Mahasiswa PGSD)