DILEMATISASI COVID-19 : BERIKUT SOLUSI ALTERNATIF

Badrul Bari : Praktisi Media & Akademisi

DILEMATISASI  COVID-19 : BERIKUT SOLUSI ALTERNATIF


TEAMRATAMA.COM – Situasi yang saat ini kita alami memang cukup sulit. Tidak kurang dari 202 negara tengah berusaha keras melawan Covid-19. Terlepas dari isu siapa yang mengembangkan kemudian menyebarkannya, yang jelas kita tengah mengalami kondisi sulit akibat virus ini.

Setiap hari jumlah korban yang terpapar Covid-19 terus bertambah, baik dari kalangan masyarakat biasa, pekerja medis, bahkan para petinggi dunia. Sebagaimana kita ketahui bahwa virus yang bermula di Kota Wuhan, Propinsi Hubey, Tiongkok menyebar sangat cepat hingga pelosok dunia.

Drama perang cuitan di media sosial antara Washington vs Beijing tersaji rapi dalam notifikasi gawai kita. Perang cuitan tersebut seolah-olah membawa kita pada sajian drama era 50-an yang mempunyai alur cerita siapa cepat sampai ke bulan antara AS dengan Uni 
Soviet. 

BACA JUGA : 

IDE  TEKNOLOGI SEBAGAI SOLUSI MASYARAKAT DI TENGAN BENCANA KEMANUSIAAN COVID 19


Hari-hari mencekam telah berlalu. Jual beli ancaman antara Washington dengan Teheran terpaksa disudahi. Semua perhatian negara tertuju pada salah satu  kota di Tiongkok. Pada Desember 2019 menjadi bulan yang tak mengenakkan bagi penduduk bumi. Covid-19 bertransformasi semakin ganas merambat luas melalui jendela sosial media kita.





Seakan membuat semua Negara kalangkabut atas pandemi ini. Semua otoritas bingung bukan kepalang, gagap, dan gugup bak kebakaran jenggot dibuatnya. Bukan hal sepele menghadapi pandemi ini, hampir semua sendi ambruk diporak-porandakannya. Dampak Covid-19 bukan hanya pada urusan pencegahan dan pengobatan korban, tetapi juga berdampak pada sendi-sendi kehidupan yang lain.


Sendi-sendi kehidupan lain yang ikut terpapar Covid-19, yaitu sektor ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya. Dalam sektor sosial budaya yang terasa sejak awal adalah pembatasan kita berkerumun di gang-gang sempit. Hal lain yang sangat menyedihkan selalu kita dengar kabarnya dari semua media. Kehangatan kita bersahabat dan bergaul dalam rumpun masyarakat pun terkoyak.

 Terjadinya penolakan terhadap pemakaman saudara-saudara kita yang menjadi korban Covid-19 mengisahkan luka dalam. Mereka dianggap seperti bukan manusia ketika korban Covid-19 tersebut ditolak pemakamannya, terlebih mereka yang menjadi korban adalah para pejuang kemanusiaan yang senantiasa berada di garda terdepan dalam menghadapi Covid-19.

Ketika kita melihat korban berjatuhan, namun kita enggan untuk membantu mereka. Di mana nurani kita? Banyak hal yang sebenarnya bisa kita lakukan sembari diam di rumah dan terus berdoa atau bersama dengan tangan terbuka menerima mereka yang menjadi korban Covid-19 untuk dimakamkan di wilayah kita. Hal yang mestinya kita lakukan yaitu tetap menjaga kehangatan sebagai sesama manusia, terlebih mereka yang menjadi korban adalah anak kandung ibu pertiwi yang statusnya sama seperti kita.

Dampak dari Covid-19 membuat kita harus bersiap untuk bertahan dalam pandemi ini. Penjarahan yang terjadi di California, AS atau pembatasan wilayah dadakan yang terjadi di India membuat suasana tidak bertambah baik. Semua pihak merasa terancam atas hidupnya. Mereka ketakutan apabila kekurangan stok bahan makanan. 

Potret carut-marut penanganan Covid-19 dimulai saat pernyataan beberapa petinggi dari Negeri Atlantis yang bersumbar atas kehebatan Negerinya. Menurut mereka, Covid-19 tak mungkin menyerang karena letak setrategis negeri itu. Iklim negeri Atlantis tak cocok untuk Covid-19 bertahan hidup. Akan tetapi, semuanya hanya omong kosong belaka. Kasus pertama dimulai dekat ibukota. Semua kalang kabut ketika dua orang telah positif Covid-19. 

Hentikan saja carut marut itu! Yang hidup harus tetap hidup. Kekhawatiran atas kelangkaan bahan pokok menyebabkan harganya sayup-sayup terdengar merambat naik perlahan. Meskipun kabar itu lirih menggema dari pelosok negeri namun itu pasti. Jika Covid-19 tidak juga berakhir siapa yang bisa memprediksi akhirnya? Perhitungan terbaru oleh seorang ahli dari negeri tetangga memprediksi bahwa virus ini akan berakhir dalam delapan belas bulan kedepan. Lantas apa yang harus kita lakukan jika hal itu benar-benar terjadi?

Rilis data dari tahun 2000–2018 yang dikeluarkan otoritas terkait menunjukan deretan negara yang senantiasa menyuplai bahan pokok kita, yaitu Negeri Gajah Putih hingga Paman Syam. Bawang putih, gula, dan kedelai yang merupakan bahan baku tahu dan tempe sebagian besar berasal dari negeri orang. Kabar terbaru yang membuat kita tertawa adalah APD dari Negeri Tirai Bambu yang bertuliskan _Made in_ Negeri kita. Kejadian ini sangat menggelitik hati, namun semua dimaklumi atas nama kemanusiaan dan perang melawan Covid-19.

Tindakan nyata yang bisa kita lakukan sembari bersantai di rumah ialah bekerja dan beribadah dengan model daring. Akan tetapi, mereka yang menyukai petualangan tampaknya berdiam diri di rumah bukanlah suatu hal yang menyenangkan. 

Pun Beberapa hari belakangan Indonesia di tengah Pendemi Bak pencabut Nyawa ini. banyak Wabah pula yang menjadi dilema pada bangsa ini.

Mulai Dari RUU Cipta Kerja OMNIBUS LAW, Asimilasi Napi Dari lapas dan Rencana Pembebasan napi Koruptor oleh Menkumham Yasona Loly Dan coleganya.

Dan banyak lagi turunan wabah dari Pandemi Ini.



Pun di tengah pandemi yang tidak kita ketahui kapan berakhirnya, sebisamungkin mari kita menyadari tentang jalan hidup kita kedepannya. Berapa jumlah bahan pokok yang mestinya tersedia dalam kondisi normal? Dalam skala kecil atau domestik keluarga kita mempunyai hitungannya hingga jumlah yang lebih besar dalam hitungan makro.

 Apakah saat ini kita menyadari seberapa besar masalah yang kita alami? Kami meyakini tidak semua orang menyadarinya. Jika saja pandemi tak juga berlalu dan bahan makanan kita mulai menipis maka kekacauan yang akan terjadi. 

Dalam kondisi saat ini, semua orang tertekan oleh keadaan. Lebih dari satu juta orang bernasib kurang baik sehingga mereka ter-PHK. Beberapa perusahaan skala kecil dan menengah mulai gulung tikar. Meski beberapa kebijakan relaksasi dan subsidi telah pemerintah gulirkan, tampaknya tak akan mengubah kondisi secara signifikan.

Imbas turunan lainnya yaitu akan banyak terjadi pelanggaran hukum karena tertekan oleh keadaan. Bukan hal yang sederhana untuk memenuhi kebutuhan hidup pada kondisi pandemi ini, terlebih yang dialami oleh golongan _Alit_. Hal ini diperparah oleh banyaknya penghuni rutan yang telah menghirup udara bebas melalui program asimilasi. Setidaknya beberapa dari mereka telah mendekam kembali karena perbuatan kriminal yang mereka ulangi.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, hal yang dapat kita lakukan yaitu menanam sendiri bahan makanan kita. Selain itu, kita dapat melakukan barter dengan tetangga untuk sekadar bertukar makanan yang kita punya dengan makanan yang kita butuhkan. Akan tetapi, gerakan ini akan banyak mengalami kendala, yaitu tentang ketersediaan lahan khususnya bagi mereka masyarakat urban perkotaan. Pada dasarnya menanam bahan makanan kita sendiri secara mandiri tidak harus dengan lahan luas.

 Adanya kemauan yang menggebu selalu akan mendapat cara untuk menanam. Tanaman yang kita tanam tak perlu dalam jumlah besar dan beragam jenis. Kita tanam saja tanaman yang mudah ditanam dan dapat dengan cepat dipanen.

Ketepatan memilih Jenis tanaman menjadi kunci keberhasilan tanaman itu tumbuh subur. Dalam menanam kita perlu memperhitungkan luasnya media tanam dan teknik menanamnya. Selain itu, perlu dipertimbangkan juga bibit yang pas dan lama masa panennya. Untuk masyarakat desa yang mempunyai lahan luas, pemerintah juga perlu menjamin ketersediaan bibit dan pupuk bersubsidi yang dapat diakses secara mudah oleh para petani.



Saatnya kita mulai sadar bahwa kita dapat secara mandiri memenuhi kebutuhan. Jika negara-negara yang semula menyuplai bahan makanan itu lebih parah terpapar Covid-19 daripada negara kita, maka kita tidak dapat lagi mengharapkan mereka menyuplai bahan makanan seperti sebelumnya. Kesadaran dan kemauan yang menggebu untuk berdiri di atas kaki sendiri akan mampu menjadikan kita sebagai bangsa yang besar. 





Ketersediaan bahan pangan harus tersedia cukup. Hal itu yang selalu kita harapkan. Akan tetapi, jika kita hanya menuntut dan berharap tanpa ada suatu hal yang kita lakukan, akhirnya semua hanya akan menyalahkan. Tugas kita adalah mulai bergerak untuk menanam sedangkan tugas pemerintah adalah menjamin ketersediaan bibit dan pupuk subsidi serta mengontrol harga bahan pangan.


 Dengan kemandirian pangan dan jaminan atas pemenuhan pangan masyarakat, kami yakin akan dengan mudah kembali bangkit. Jika transaksi masih berjalan di pasar-pasar tradisional dan para petani masih memproduksi bahan pangan, maka kita akan menyongsong hari indah setelah pandemi ini berakhir sebab kita telah mandiri dalam memenuhi kebutuhan pokok kita sendiri.

#StopSeranganMental
#PandemiButuhSolusi


LihatTutupKomentar